BELAJAR SELEZAT COKELAT

19 Januari 2014 pukul 1:06 am | Ditulis dalam Tidak Dikategorikan | Tinggalkan komentar

Apa yang terpikirkan di benak kita tentang cokelat? Apa yang akan kita lakukan ketika disebut nama makanan yang terkenal manis ini? Lapar dan merasa ingin segera mencicipinya? Si hitam manis ini memang idaman semua orang. Bahkan kabarnya ia memiliki zat aktif yang dapat menenangkan. Komposisi kandungan zat gizi pada coklat sangat banyak, Biji coklat memiliki kandungan alkanoid yang menyebabkan rasanya menjadi pahit. 9% protein yang terkandung dalam biji coklat itu memiliki kandungan fenilalanin, tirosin, dan triptofan dalam jumlah besar. Sehingga dengan kandungan yang demikian beragam, menjadikan manfaat coklat bagi kesehatan tentu juga sangat beragam. Orang yang sedang stres, galau, panik, atau kelelahan, disarankan untuk mengkonsumsi si manis ini. Hal tersebut disebabkan karena cokelat mengandung molekul psikoaktif yang dapat membuat pemakan cokelat merasa nyaman. Beberapa kandungan cokelat seperti kafein, theobromine, methyl-xanthine, dan phenylethylalanine dipercaya dapat memperbaiki mood dan mengurangi kelelahan sehingga bisa digunakan sebagai obat anti-depresi. Ada kerenyahan di tiap gigitannya. Ketika kita kulum di lidah, rasa manisnya membuat tenang, dan santai. Apalagi disantap dengan selembar roti hangat. Rasanya semakin sempurna. Seolah-olah merasakan indahnya dunia, dan sejenak melupakan masalah. Itulah dia si cokelat.

Namun, apa yang ada di benak kita tentang belajar? yang terpikirkan mungkin adalah seseorang yang duduk manis di belakang meja dengan setumpuk buku, pensil, penghapus, dan alat tulis lainnya. Atau duduk manis juga di depan laptop dengan iringan musik yang dipercaya dapat menjadikan kita santai dan menenangkan. Kelihatannya duduk manis sih, tapi sebenarnya hatinya gelisah, raganya lelah, matanya mengantuk, dan pikirannya melayang-layang. Ingin segera beranjak ke peraduan atau jalan-jalan sekedar mencari angin. Belajar memang bagi sebagian orang merupakan aktivitas yang menjemukan.

Tapi apa yang kita pikirkan tentang seseorang yang menikmati proses belajarnya hingga ia merasakan menikmati belajar seperti ia mengkonsumsi cokelat di atas genting rumah di senja hari sambil menikmati indahnya matahari tenggelam. Itulah dia seseorang yang mengganggap belajar adalah kegiatan yang menyenangkan. Bagaimana menjadikan kegiatan belajar sebagaimana menyenangkannya menikmati secangkir cokelat hangat? Mana mungkin kedua hal yang amat bertolak belakang itu dapat terlaksana dalam satu waktu?

Mari kita lihat berbagai sejarah peradaban. Mereka yang giat belajar, mereka yang dikenang sejarah. Contoh pembelajar dan ilmuwan tersohor di abad 20, Albert Einsten. Padahal ketika Einstein lahir ia seorang bayi yang gemuk dan berkepala besar, ibunya sampai-sampai menyangka ia cacat. Ketika Einstein masih kanak-kanak susah sekali berbicara. Sebagai anak kecil ia susah sekali berbicara, kalau berbicara ia sangat lambat atau terbata-bata, ini berlanjut sampai ia berumur 9 tahun. Namun berkat ketekunannya dalam belajar, ia berhasil menjadi buah bibir sepanjang abad 20. Belum ada yang menandingininya dalam ilmu pengetahuan di abad 21 ini. Ia menemukan rumus fisika yang terkenal itu: E = mc2.

Kita lihat juga sejarah penulisan Hadits. Pada masa Rasulullah Saw masih hidup, hadits belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti Al-Quran. Para sahabat terutama yg mempunyai tugas istimewa selalu mencurahkan tenaga dan waktunya utk mengabadikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan alat tulis seadanya, namun tidak demikian dengan Hadist. Meskipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi untuk menafsirkan dan melaksanakan hukum dalam Al-Quran, namun hadist ketika belum diperintahkan ditulis secara resmi. Karenanya para sahabat belajar dan terus belajar, menghafal dan menuliskan hadits yang ternyata saat ini kita butuhkan untuk tuntunan hidup. Dan ternyata benar, saat ini sudah ribuan buku diterbitkan dari hadits-hadits dan penafsirannya. Dan kita menikmatinya.

Itulah kiranya kebaikan dari belajar. Setiap orang akan menikmati hasil belajar kita. Dan orang-orang pembelajar itu yang akan dikenang sepanjang sejarah. Bukankah itu menjadi hal yang membanggakan? Namun jika kita lihat fenomena saat ini, di tengah kecenderungan kehidupan yang materialis dan hedonistik, belajar menjadi aktivitas yang semakin membosankan. Masyarakat, khususnya pelajar dan mahasiswa, cenderung menginginkan prestasi-prestasi instan yang didapat tanpa harus melalui tahapan belajar. Metode jalan pintas dipilih untuk mencapai tujuan. Wajar saja jika kemudian masyarakat terjebak pada permisifisme yang menghalalkan segala cara untuk meraih hasil yang diinginkan. Kita ingat kasus sebuah keluarga di Kota Surabaya, Jawa Timur  yang diusir karena laporannya ke media massa. Mereka melaporkan bahwa anaknya telah disuruh memberikan contekan kepada teman-temannya agar dapat lulus ujian. Anaknya telah berbuat jujur dalam ujian. Namun, teman-temannya yang malas, menikmati belajarnya dengan instan: mencontek. Karena laporannya ini, sekeluarga tersebut diusir dari tempat tinggalnya karena dianggap tidak setia kawan. Itulah kiranya, penyakit yang menjangkiti masyarakat kita. Budaya instan dan permisifisme menjadi kebiasaan, sehingga apa yang terjadi kemudian adalah mereka tak lagi menikmati proses belajar.

Karenanya, dibutuhkan satu metode untuk membangun kesadaran belajar bagi para pelajar, mahasiswa, dan juga masyarakat umum. Di tengah materalisme, hedonisme, dan permisifisme, belajar tetap dapat menjadi aktivitas yang menyenangkan seperti layaknya menikmati cokelat. Kuncinya adalah memahami modalitas belajar yang dimiliki serta mengenal beragam teknik belajar kreatif. Jika beragam teknik belajar bisa diketahui, itu akan menyebabkan seseorang menjadi keranjingan belajar.

Begitupula pentingnya peran orang tua dalam membimbing anak-anaknya agar mencintai aktivitas belajar. Karena dengan belajar ini semua orang tidak lagi menerapkan budaya permisifisme. Belajar berarti terjadinya perubahan tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. Penting terjalinnya komunikasi antara pihak sekolah dengan pihak orang tua agar terjadi kesatuan konsep. Dan orang tua pun tidak boleh hanya bisa menyuruh anaknya belajar tanpa ia berusaha untuk belajar pula. Dr Maria Montessori, dalam bukunya “The Absorbent Mind” menyatakan bahwa filosofi keterlibatan orang tua murid dalam pembelajaran, tidak lepas dari besarnya ketergantungan  anak-anak terhadap orang tuariya. Kepribadian murid atau pendidikan kepribadian sekarang ini terpecah. Pada satu sisi, pendidikan itu berlangsung di rumah, pada sisi lainnya di sekolah. Tidak ada kesatuan konsep. Untuk itu, perlu formulasi khusus antara pihak orang tua dan sekolah, agar proses belajar menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan. Namun sebelum konsep itu disampaikan, hendaklah kita sebagai orang tua juga dapat merasakan bagaimana belajar senyaman mungkin, selagi masih diberi kesempatan dan kesehatan. Belajar nyaman dan dinikmati seperti layaknya menikmati secangkir cokelat panas di senja hari.

KONTRIBUSI PASCASARJANA INDONESIA

2 Desember 2013 pukul 2:58 pm | Ditulis dalam Tidak Dikategorikan | Tinggalkan komentar

Pasal 19 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, menjelaskan bahwa: ”Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.” Salah satu cakupan dari pendidikan tinggi adalah program Pendidikan Pascasarjana, yang sasarannya adalah menghasilkan lulusan magister yang mempunyai kompetensi dan komitmen untuk mengembangkan dan menerapkan ilmu dan keterampilan yang dimiliki demi kemaslahatan manusia, bangsa, dan negara. Saat ini Pascasarjana begitu dicari dan diburu banyak orang untuk meneruskan jenjang pendidikannya. Namun sayangnya, kebanyakan Pascasarjana di Indonesia hanya menjadi tindaklanjut dari sistem pendidikan sarjana biasa tanpa diiringi proses perbaikan pada langkah-langkah pemeliharaannya. Hanya disibukkan dengan hal-hal yang bersifat administratif yang kemudian pada akhirnya menjadikan mahasiswa kehilangan banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang bersifat aplikatif.

Perguruan tinggi merupakan sumber utama pengetahuan. Melalui penelitian perguruan tinggi, akan dihasilkan pengetahuan baru atau pengembangan pengetahuan yang telah ada untuk dideseminasikan, sehingga mampu diserap dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Melalui proses pendidikan dan pengabdian masyarakat, institusi perguruan tinggi berperan dalam transfer pengetahuan pada masyarakat melalui pelatihan sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Pengetahuan akan membantu masyarakat dalam memberikan berbagai macam alternatif solusi penyelesaian masalah besar seperti kemiskinan, berwirausaha, pendidikan yang aplikatif, perguruan tinggi juga berperan dalam transfer teknologi untk mengembangkan produksi melalui pelatihan dunia usaha.

Meski demikian, perguruan tinggi bukan hanya berperan dalam transfer pengetahuan tatapi juga bertanggung jawab dalam transfer nilai-nilai khususnya kepada mahasiswa dan masyarakat. Oleh karena itu, selain riset yang simultan dan berkelanjutan, Pascasarjana harus menjadi corong positif kepada arah tujuan bangsa ini. Ki Hadjar Dewantara, seorang sosok pendidik yang namanya mahsyur hingga sekarang memiliki slogan “Ing ngasro sung tulodo, ing ngarso mangun karyo, tut wuri handayani”. Artinya bahwa orang-orang yang ada di depan harus menjadi teladan, yang di tengah memberikan dukungan dan akhirnya terciptalah lingkungan yang kondusif dalam pendidikan. Begitu juga seharusnya konsep Pascasarjana yang ideal dibangun. Di depan ia harus menjadi teladan dan pelopor sedangkan di tengah ia mendorong agar Pascasarjana tumbuh menjadi bagian terpenting pada bangsa ini. Namun tak lupa, Pascasarjana juga harus dikelola secara profesional dan tetap memperhatikan aspek ruhani. Maka, ada baiknya bahwa dalam Pascasarjana ada pembelajaran agama dan pengembangan diri. Hal ini penting karena sesungguhnya manusia memiliki 3 aspek yang harus dikembangkan: akal, jasmani, dan ruhani. Akal jelas makanannya berupa ilmu yang kita serap setiap hari, jasmani makanannya berupa gizi seimbang, sedangkan ruhani hanya akan bisa makan jika ia diisi dengan kebaikan dan pertahanan dari sistem yang terbiasa menjaga nilai-nilai ketuhanan dalam setiap aspek kehidupan.

Sebuah lembaga bernama Pascasarjana harus memiliki kontribusi kepada masyarakat. Seorang alumni Pascasarjana yang dicita-citakan bukanlah seorang master atau doktor yang hanya dapat memenuhi kebutuhan pasar. Kebutuhan pasar di sini bermakna bukan kebutuhan peluang kerja, tetapi apa yang dibutuhkan Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan Indonesia. Contoh masalah yang saat ini mendera bangsa kita: ekspor-impor, inflasi, ketenagakerjaan yang begitu pelik dan rumit, untuk didefinisikan sekalipun. Contohnya realitas saat ini, tak terkendalinya harga pangan lokal menimbulkan membanjirnya produk pangan impor yang juga pastinya menimbulkan permasalahan sosial sendiri bagi ketahanan pangan nasional. Padahal jika kita lihat peta Indonesia, betapa luasnya negeri kita yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Dua per tiga dari wilayahnya adalah perairan dengan hasil laut yang amat melimpah. Sepertiganya berupa daratan dengan tanah yang subur. Biodiversitas kita nomor dua di dunia setelah Brazil yang cukup membuat Indonesia kaya dan seharusnya dapat memakmurkan rakyatnya. Namun mengapa semua ini tak menjadikan masyarakat kita menjadi sejahtera? Tak lain karena kita hanya mengandalkan pemasukan dari devisa Negara kecil karena ekspor adalah bukan bahan mentah yang mengakibatkan liberalisasi ekonomi. Kita tak belajar untuk menjadi produsen yang dapat kita kembangkan dari basic science. Contohnya kita memiliki kopi yang terbaik di dunia. Kopi, karena punya daya saing tinggi dengan bangsa lain maka petani kita berlomba-lomba untuk menanamnya. Namun, sayangnya karena petani kita kurang edukasi, maka yang diekspor adalah hanya berupa biji kopi yang murah harganya. Padahal jika biji kopi ini diolah hingga menjadi bubuk, tentu akan menjadikan nilai tambah lebih tinggi. Menimbulkan pula daya saing yang kuat dan devisa tinggi sehingga dapat menyerap lapangan pekerjaan menyerap tenaga kerja tinggi. Ujungnya yang diharapkan adalah kesejahteraan. Semua ini tentu menjadi tanggungjawab kita bersama untuk mengedukasi masyarakat agar menjadi lebih peduli akan kesejahteraan dan kemandirian bangsa.

Semua uraian ini merupakan representasi Pascasarjana di masa depan yang jika kita lihat dan bandingkan dengan model sekarang ini menjadi awal yang baik untuk memberikan sumbangsih terbaik pada bangsa. Apakah yang kita inginkan hanya sebuah Pascasarjana yang menjalani kuliah, melakukan publikasi ilmiah, menyelesaikan proses administrasi kemudian selesai? Tentu kita ingin bahwa dengan riset-riset mendasar dan diiringi dengan kuliah ilmiah itu akan memberikan dorongan dan upaya bahwa riset-riset itu tak hanya sekedar memenuhi rak-rak besar perpustakaan tanpa makna, namun menjadikannya aksi di lapangan langsung sehingga tidak terlalu lama diendapkan di perguruan tinggi.

Kita tak pernah berpikir akan menjadi yang terhebat di dunia ini. Hanya ingin memberikan sumbangsih dengan pengetahuan yang hanya sedikit dimiliki, namun dengan yang sedikit ini ingin rasanya memberikan yang terbaik untuk Pascasarjana ke depan. Bahwa Pascasarjana yang baik tentu tak  hanya berkutat pada persoalan administrasi namun ia dapat mengembangkan ilmu-ilmu terbaru menjadi sesuatu yang nyata. Dan langkah-langkah terbaik ini senantiasa hanya akan dapat terwujud manakala sistem memberikan kesempatan. Namun kemudian, sebaik apapun sistem, tidak ada sistem yang terbaik kecuali sistem tersebut dilaksanakan diimplementasikan. Kita ingin memberikan karya terbaik untuk kesejahteraan bangsa. Semoga dari sinilah kita dapat terus berkontribusi untuk Pascasarjana agar berkembang dalam segala hal berbasis sains dan teknologi.

BUKAN HANYA MENJADI PEMUDA YANG DISUMPAH

30 Oktober 2013 pukul 2:43 am | Ditulis dalam Tidak Dikategorikan | Tinggalkan komentar

Sabtu, 26 Oktober lalu saya mengikuti kongres Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB yang diadakan di kampus IPB Darmaga. Ada banyak hal yang saya pelajari di forum ini. Hal ini kemudian menginspirasi saya untuk berbagi tentang apa yang saya rasakan. Apalagi kongres ini berdekatan dengan hari Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober. Langkah demi langkah mata acara selalu menarik untuk dicermati dan dijadikan pelajaran. Kongres ini diawali dengan pembukaan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lagu yang katanya memiliki nilai magis karena syairnya yang amat menggugah semangat nasionalisme ini merupakan awal yang baik untuk membuka forum tertinggi di kalangan mahasiswa di kalangan strata tertinggi, yang dengannya kita mengakui bahwa kitalah pemuda yang akan mengisi kemerdekaan. Acara dilanjutkan dengan sambutan dan pembacaan tata tertib jalannya kongres. Pada langkah ini mulai menarik dan terjadi perdebatan yang alot mengenai kedudukan peserta yang sebenarnya telah panitia tetapkan bahwa peserta adalah perwakilan dari setiap program studi dengan rasio 1:25. Namun, tak terduga sebelumnya, beberapa pihak tak puas dengan keputusan panita yang sepihak. Perdebatan ini mulai memancing emosi beberapa pihak hingga keluar sumpah serapah yang saya pikir tak sesuai keluar dari kalangan akademisi yang katanya berada di strata tertinggi. Acara yang di awal begitu khidmat, berubah menjadi forum debat kusir.

Walau demikian, forum terus dilanjutkan dengan agenda berikutnya yakni pembacaaan laporan selama kepengurusan sepanjang satu periode. Seperti biasa, di setiap laporan pastinya ada yang mengkritisi. Ada yang menjatuhkan, tapi ada juga yang bersifat membangun. Forum semakin memanas ketika pembahasan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Banyak terjadi debat kusir dan tak mencerminkan intelektualitas seorang akademisi. Namun demikian, acara terus berlanjut pada agenda pemilihan Ketua Umum Forum Pascasarjana periode selanjutnya. Setelah penyampaian visi dan misi masing-masing kandidat, dilakukan voting untuk memilih ketua umum. Meski di tengah penyampaian visi dan misi, 4 dari 6 calon mengundurkan diri -yang sebenarnya mengundang banyak tanya- akhirnya terpilih juga Ketua Umum yang baru.

Walau dalam kenyataannya, jalannya acara tak sesederhana yang saya ceritakan di atas, namun setidaknya saya belajar banyak dari forum ini. Pertama, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat rasa toleransi dan saling menghargai mutlak dibutuhkan. Kedewasaan tak pernah memandang umur apalagi gelar. Kedua, pendidikan tinggi tak menjamin seseorang akan beretika tinggi pula jika tak diiringi dengan pagar nilai-nilai kesopanan. Menjadi pemuda dengan etika memang bukan sesuatu yang instan, semuanya harus diiringi dengan latihan dan kelapangan hati yang tinggi. Sesungguhnya kita telah dipercaya tuhan untuk menyelesaikan urusan manusia di tangan kita sendiri. Kebaikan urusan mereka di hari ini dan masa mendatang merupakan amanah yang harus kita tunaikan. Kita yang akan bertanggungjawab. Jika generasi hari ini adalah kekuatan bagi kita maka generasi esok adalah tanaman. Alangkah mulianya seseorang jika ia bersikap amanah, tanggungjawab, dan mau memikirkan umatnya namun tetap dalam koridor nilai etika kesopanan. Ketiga, begitu banyak kritik yang menjatuhkan bukan yang konstruktif menggambarkan bahwa kita hanya dapat mengkritisi tanpa dapat memberikan solusi terbaik. Padahal, bukankah menyalakan lilin daripada merutuki kegelapan? Dengan pengamatan yang jeli terhadap perjalanan hidup manusia, kita dapat menyimpulkan bahwa masa paling rawan untuk ketika berlangsungnya masa peralihan. Karena saat itulah, ideologi kehidupan yang baru diberlakukan, langkah-langkah ke depan mulai digariskan, dan nilai-nilai dasar kehidupan mulai dibangun. Inilah pentingnya kritik yang konstruktif.

Namun satu hal yang menjadi hal positif bagi forum ini adalah memang kemudian iklim kompetisi yang dihadirkan dapat secara baik akan menimbulkan kegairahan untuk menghasilkan karya terbaik. Seperti halnya para pemuda angkatan ’28 yang bertekad bersatu dalam wilayah, tanah air, dan bahasa yang satu: Indonesia. Atau kita teladani pemuda angkatan  ’45 yang mempertahankan ideologi bangsa dan berjuang mengusir penjajah kemudian memproklamirkan kemerdekaan. Dapat juga kita mengingat perjuangan pemuda angkatan ’98 yang dengan peluhnya menggaungkan reformasi untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik dan demokratis. Maka, sekarang kita yang harus dapat mengisi kemerdekaan dengan karya-karya terbaik kita. Tak hanya sekedar bermain kata atau retorika semata namun dengan karya nyata: membangun bangsa yang beretika. Karena para generasi kita terdahulu tak hendak menjadikan Sumpah Pemuda hanya sekedar seremonial pemuda yang disumpah namun juga menjadi pemuda dapat dibanggakan karena prestasi yang diraihnya.

ANTARA IMPOR DENGAN DIVERSIFIKASI PANGAN

20 Oktober 2013 pukul 3:24 pm | Ditulis dalam Tidak Dikategorikan | Tinggalkan komentar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diversifikasi bermakna penganekaragaman; penganekaan usaha untuk menghindari ketergantungan pada ketunggalan kegiatan, produk, jasa, atau investasi. Berbicara diversifikasi pangan, tak lepas dari adanya penganekaragaman jenis makanan pokok untuk masyarakat. Namun, realitas saat ini tak terkendalinya harga pangan lokal dan membanjirnya pangan impor menimbulkan permasalahan sosial sendiri bagi ketahanan pangan nasional. Jika kita lihat peta Indonesia, betapa luasnya negeri kita yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Dua per tiga dari wilayahnya adalah perairan dengan hasil laut yang amat melimpah. Sepertiganya berupa daratan dengan tanah yang subur. Biodiversitas kita nomor dua di dunia setelah Brazil yang cukup membuat Indonesia kaya dan seharusnya dapat memakmurkan rakyatnya. Indonesia yang lebih layak disebut negara maritim daripada sebagai negara agraris ini rupanya pernah swasembada beras. Swasembada ini bermakna dapat memenuhi 90% dari kebutuhan pangan lokal Indonesia. Namun kebijakan swasembada beras ini kemudian menjadi masalah karena menyebabkan hampir punahnya kearifan lokal pangan nasional. Penyeragaman pangan menjadi program nasional –menjadi beras- yang diterapkan di seluruh wilayah nusantara berdampak pada perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Akibatnya, keterbiasaan mengonsumsi aneka pangan seperti singkong, jagung, sagu, ubi jalar, dan talas, hilang. Digantikan oleh beras sebagai bahan pangan utama. Ketergantungan pangan pada satu jenis, padahal realitasnya hanya ada 45 juta hektar (dari 140 juta hektar wilayah daratan Indonesia) dengan 250 juta jiwa penduduk, membuat kita tak lagi dapat melakukan swasembada. Kemudian diambil jalan tengah dengan impor pangan yang menjadikan Indonesia bagaikan tamu di negeri sendiri.

Kejadian melambungnya harga daging sapi, kemudian melakukan impor dan menjadi masalah kecil yang amat dibesar-besarkan oleh segelintir pihak menunjukkan betapa impor menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakat kita. Banyak pihak mengatakan bahwa ketahanan pangan nasional sangat rentan, yang sebenarnya dengan segala kekayaan alam yang miliki Indonesia seharusnya mampu menciptakan ketahanan pangan nasional. Inilah yang menjadi kesalahpahaman terbesar masyarakat kita. Paradigma berpikir bahwa kita harus melakukan swasembada dengan mengurangi –atau bahkan- meniadakan impor pangan adalah justru hal yang salah. Ekspor – impor adalah  suatu keniscayaan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua ini tak lepas dari keseimbangan dan akses internasional kita dengan negara lain. Semuanya harus didasari dengan kekuatan berimbang. Kita melakukan impor pangan, namun dalam hal lain kita juga melakukan ekspor besar-besar. Kita lihat perbandingan dengan Negara lain yang juga melakukan impor. Contohnya Thailand yang berpenduduk 60 juta jiwa, mereka mengimpor kedelai sampai 2,2 juta ton. Sedangkan China yang memiliki penduduk 1,3 milyar jiwa mengimpor sampai 50 juta ton kedelai. Bandingkan dengan Indonesia yang saat ini berpenduduk 250 juta jiwa, hanya mengimpor kedelai sebanyak 1,5 juta ton kedelai saja. Jauh lebih kecil dari Thailand yang memiliki penduduk hanya seperempat dari Indonesia. Ini berarti sebenarnya pangan kita termasuk dapat bertahan dalam memenuhi kebutuhan bangsa.

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) bahkan memberikan penghargaan kepada Indonesia atas keberhasilannya menurunkan kemiskinan dan kelaparan di samping mampu meningkatkan produksi pangan. Penghargaan akan diserahkan di Roma, Italia, pada pertengahan Juni 2013. Direktur Jenderal FAO Jose Graziano da Silva, mengatakan selain Indonesia ada 35 negara lain di berbagai kawasan yang mendapat penghargaan atas keberhasilan meningkatkan produksi pangan. Indonesia adalah salah satu contoh negara yang mampu memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan masyarakatnya, antara lain dengan memberikan kecukupan pangan. FAO memilih Indonesia karena memang memiliki peran nyata dalam menurunkan kemiskinan dan meningkatkan produksi pangan. Oleh karena itu, tak usah kita gusar karena banyaknya impor yang kita lakukan. Kalaupun banyak pihak mementang impor, dapatkah kita melakukan 2 hal berikut? pertama: tingkatkan produksi, sementara kita tahu bahwa lahan pertanian semakin menyempit karena dibuat pemukiman dan industri, atau kedua: turunkan –atau bahkan hilangkan- konsumsi pangan impor, misalnya apel dan pisang Amerika atau jeruk Australia. Bisakah kita lakukan salah satunya? Jika keduanya tidak bisa kita lakukan, maka memang tiada jalan lain selain kita melakukan impor.

Saya pernah mendengar talkshow yang dilakukan salah satu radio yang di sana membahas terkait transaksional cost (biaya transaksi) dimana Papua akan memilih mengimpor jeruk dari Australia dibandingkan dengan mengambil dari Medan yang jelas-jelas masih wilayah Indonesia. Ini tak usah menjadi masalah sebenarnya, karena memang akses Papua jauh lebih dekat ke Australia dibandingkan ke Medan. Yang patut menjadi pertimbangan dan bahan evaluasi adalah mengapa kita terlambat dalam pembangunan infrastruktur maritim antar pulau sehingga kita harus melewati jalan darat yang jelas lebih jauh dan lama sehingga memperbesar biaya transaksi? Hanya dua kuncinya: teknologi yang canggih dan SDM yang handal. Semua ini lagi-lagi tak lepas dari pemerintah yang membuat kebijakan dan dukungan dari masyarakat untuk menjadi mitra pemerintah. Masyarakat harus dapat pula mendukung dengan cara melakukan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal.

Untuk itu, akhir dari kajian ini adalah bagaimana pemerintah perlu membuat kebijakan strategis nasional untuk mengamankan pasokan pangan nasional. Penguatan pangan berbasis kearifan lokal perlu menjadi program nasional dengan mengedepankan pada diversifkasi pangan. Konsep diversifikasi pangan bukan merupakan hal yang baru, namun perlu kembali dibudayakan untuk mengantisipasi gejolak harga dan ketergantungan pada pangan impor. Keberhasilan pelaksanaan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal tidak hanya mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional tapi juga merupakan kunci keberhasilan Indonesia dalam menciptakan kemandirian dan kebudayaan pangan nasional. Semoga.   

USIA DAN KEBERMAKNAAN KITA

20 Oktober 2013 pukul 3:23 pm | Ditulis dalam Tidak Dikategorikan | Tinggalkan komentar

Kita tak pernah tahu usia kita sampai dimana. Itu pasti. Namun ada hal yang pasti bahwa dunia ini tak akan pernah lama mempergilirkan penjejaknya untuk mengikuti aturan alam. Bahwa hidup ini ibarat roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Ada senang, ada susah. Ada teriknya panas sebelum datangnya hujan. Ada siang, ada malam. Semuanya berpasangan. Dan kemudian hakikat hidup itulah yang mengajarkan kebermaknaan kita atas semesta ini. Waktu memang tak pernah salah dalam mengiringi langkah kita, ia yang akan menjadi bentukan seperti apa kita kelak. Waktu yang akan benar-benar mengubah kehidupan kita, apakah stagnan, melesat, atau justru menurun. Meskipun itu sebuah nilai yang relatif dari sejauh mana orang memandang.

Usia bukan hanya bilangan waktu yang terlewat bagi kita dalam melangkah dan menjalani hidup ini. Namun, seharusnyalah ia menjadi bagian tak terpisahkan untuk menilai sejauh mana kita berkontribusi dan memberikan kesan terbaik bagi alam. Alam tak pernah berbohong. Orang yang memiliki cinta yang tulus akan terpancar lewat wajah ketawadhuan tanpa kepura-puraan. Sebaliknya, orang yang serakah dalam kepura-puraan cinta, hanya akan menumpuk kebencian di tengah-tengah orang yang padahal selalu mengharapkan dengan hadirnya ia akan mengubah kehidupan mereka minimal dengan sesuatu yang dapat mereka rasakan bersama.

Begitulah kiranya gambaran Banten saat ini yang mencapai usia 13 tahun. Usia yang dapat dikatakan tergolong masih merupakan anak bau kencur yang masih menjajaki kehidupan ini dengan hakikatnya. Lorong kecil kehidupan beserta alam raya yang telah memberikan mereka kekuatan hingga dengannya 12 juta jiwa di dalamnya dapat menikmati dan mengeksplorasi kekayaan alam raya itu dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan bersama. Namun ternyata di sana ada koloni bakteri yang meracuni dan merendahkan kehidupan mereka sendiri dengan keserakahannya. Pada akhirnya keadilan yang akan menang, alam akan menunjukkan siapakah di antara kita yang seringkali mengingkari janji dan berbuat curang. Tuhan pasti memberikan balasannya.

Hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti. Hidup harus berani mengambil pilihan yang tidak populer di kalangan orang-orang kebanyakan. Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja. Demikian kata orang-orang Gontor. Namun kemudian, sebagai manusia yang diberi kemampuan merenung dan menggunakan pikirannya untuk bernalar, kita pasti bertanya-tanya mengapa kita dilahirkan ke bumi ini dan apa tugas kita di dalamnya. Kemampuan berpikir ini juga yang membuat kita menemukan berbagai pengetahuan baru. Pengetahuan baru itulah yang akhirnya kita gunakan untuk mendapat manfaat sebesar-besarnya dari lingkungan alam yang tersedia di sekitar kita. Itulah maknanya usia kita. Tak hanya sekedar menjadi semakin lama semakin tua, tapi menjadi seseorang yang terus bermakna.

Seberat apapun beban hari ini. Sebesar apapun pengorbanan menebusnya. Janganlah berhenti berharap. Karena harapan adalah masa depan. Karena harapan adalah kekuatan. Karena harapan adalah nikmat yang Allah berikan. Sehingga hari-hari dan usia kita dipenuhi dengan makna, memberikan manfaat untuk sesama dan memberikan kebermanfataan untuk semesta.

HARAPAN PADA 58 TAHUN FMIPA UGM

27 September 2013 pukul 2:26 am | Ditulis dalam Tidak Dikategorikan | Tinggalkan komentar

Jika diibaratkan manusia, usia 58 tahun adalah sosok yang sudah matang. Semangat untuk mengaktualisasikan diri semakin menggelora dan kemampuannya semakin terasah. Mengasah dan terus meningkatkan kualitas diri dengan terus belajar. Usia 58 tahun, biasanya sudah punya cucu artinya sudah mamasuki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pada usia ini, ditandai dengan matangnya pemikiran, mulai berubannya rambut, dan badan yang gagah. Ia adalah seorang tua yang arif, bijaksana, dan ide-idenya yang cemerlang membuat semua orang mendengarkannya. Ide-ide yang selalu mengucur deras seakan menjadi harmonisasi kehidupan yang terus dinamis mengikuti ritme kehidupan. Begitu juga dengan kondisi fisiknya, ia semakin kuat dalam menahan segala macam bentuk penyakit yang menyerangnya karena antibody yang semakin kuat. Pada sisi lain, di usia 58 adalah juga masa-masa rawan, dimana  pengaruh lingkungan luar dengan mudahnya merusak sistem tubuh yang semakin lemah.

Itulah kiranya gambaran Fakultas MIPA UGM yang saat ini dikenal baik secara internasional dan unggul secara nasional dalam kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta menghasilkan lulusan yang kompeten dalam bidangnya. Literate dalam teknologi informasi, berjiwa wirausaha, dan mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional. Fakultas MIPA lahir 19 September 1955 melalui serangkaian perubahan pada manajemennya, kini memiliki 4 jurusan yakni Fisika, Kimia, Matematika, serta Ilmu Komputer dan Elektronika ini telah mencetak ribuan wisudawan yang kompeten di bidangnya. Tak sedikit yang telah menjadi berada di posisi pucuk pimpinan kerja di perusahaan minyak, posisi perusahaan riset, dan menjadi profesor di bidangnya.

Ini tak lain dikarenakan banyaknya riset yang dilakukan fakultas ini. Kelanjutan riset dasar seharusnya dapat diaplikasikan untuk siap dipasarkan sehingga riset bisa dipakai untuk kemandirian ekonomi bangsa. Kita seharusnya bisa mandiri dari sisi produk. Jangan hanya impor saja. Stabilitas stabilitas ekonomi dibangun dengan bisnis makelar (makelar) bukan proses produksi. Tidak hanya kajian riset dasar yang dibutuhkan untuk kum guru besar sehingga sebuah universitas dapat dibanggakan menjadi universitas kelas dunia (World University). Namun seharusnya riset tersebut dapat dipahami dan membumikan hasil riset tersebut. Perguruan tinggi sangat penting dalam mempengaruhi kemajuan suatu masyarakat. Perguruan tinggi diharapkan lebih progresif dalam mempengaruhi perubahan-perubahan masyarakat secara lebih sistematis dan berdampak luas, melalui Tri Darma Perguruan Tingginya. Selain itu juga perlu diusahakan kedekatan perguruan tinggi  dengan kemitraan kelompok-kelompok masyarakat.

Perguruan tinggi merupakan sumber utama pengetahuan. Melalui penelitian perguruan tinggi menghasilkan pengetahuan baru atau pengembangan pengetahuan yang telah ada untuk dideseminasikan, sehingga mampu diserap dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Brey, 2007). Melalui proses pendidikan dan pengbdian masyarakat, institusi perguruan tinggi berperan dalam transfer pengetahuan pada masyarakat melalui pelatihan sehingga dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Pengetahuan akan membantu masyarakat dalam memberikan berbagai macam alternatif solusi penyelesaian masalah besar seperti kemiskinan, berwirausaha, pendidikan yang aplikatif, perguruan tinggi juga berperan dalam transfer teknologi untk mengembangkan produksi melalui pelatihan dunia usaha.

           Globalisasi memunculkan pergerasan nilai dan memunculkan nilai-nilai baru yang tidak jarang berdampak negatif seperti lunturnya solidaritas sosial, hilangnya rasa kekeluargaan dan berkurangnya cinta tanah air. Perguruan tinggi bukan hanya berperan dalam transfer pengetahuan tatapi juga bertanggung jawab dalam transfer nilai-nilai khususnya kepada mahasiswa dan masyarakat. Maka tak heran dengan jargonnya sebagai kampus kerakyatan mendorongnya untuk tetap mempertahankan nilai-nilai yang diusungnya ini. Dirgahayu FMIPA UGM, jayalah selalu!

MENYOAL PENYELENGGARAAN MISS WORLD 2013

10 September 2013 pukul 2:34 pm | Ditulis dalam Tidak Dikategorikan | Tinggalkan komentar

Indonesia akan menjadi tuan rumah pagelaran akbar Miss World 2013. Ajang yang akan digelar September nanti di Sentul Bogor dengan masa karantina di Bali ini nampaknya akan berjalan mulus, karena telah mengantongi izin dari pemerintah pusat. Padahal banyak kalangan yang menolak dengan tegas ajang ini. salah satunya MUI Kabupaten Bogor dan organisasi masyarakat yang ada di sana. Mereka berpandangan bahwa ajang Miss World ini adalah ajang kemaksiatan, sehingga wajib ditolak. Walaupun pihak MUI telah diberikan banyak tawaran, di antaranya pemberian fasilitas jaringan Indovision gratis, dijanjikan jabatan akan menjadi Dewan Pengawas Syariah (DPS) di MNC Grup, dan pengurus MUI akan dijadikan penasihat di balik layar, namun pengurus MUI tetap tegas menolak. Organisasi massa yang tegas menolak ajang ini salah satunya adalah Front Pembela Islam (FPI) yang diketuai oleh Habib Rizieq ini menyerukan umat Islam di seluruh Indonesia untuk menggelar aksi menolak penyelenggaraan Miss World yang ia nilai sebagai sebuah gelaran yang penuh dengan kemaksiatan dan pelecehan terhadap derajat perempuan yang mulia dan tinggi.

Walaupun pada saat itu dijelaskan alasan dan dampak positif diselenggarakannya Miss World di Indonesia, seperti memajukan karya desainer-desainer Indonesia di kancah Internasional serta meningkatkan tujuan wisata dan nama Indonesia di mata Internasional. Bahkan beberapa pihak menyampaikan bahwa ajang ini akan berlangsung tanpa sesi bikini, namun oleh MUI hal ini dianggap sebagai fabrication of issue saja. MUI berharap suara penolakannya atas Miss World didukung oleh umat muslim seluruh Indonesia.

Dilihat dari sejarahnya, kontes kecantikan modern yang pertama kali digelar di Amerika pada tahun 1854 ini dikembangkan di Inggris pada tahun 1951. Berawal dari festival yang bernama Festival Bikini Contest. Acara ini adalah salah satu  cara untuk promosi produk pakaian dalam wanita. Keuntungan dari acara ini sangatlah besar, karena mampu menjaring penonton yang sangat banyak. Ini menjadi ajang bisnis alias mengeruk keuntungan dari hak siar yang akan dijual  di seluruh negara. Ajang ini dianggap sah-sah saja, karena budaya barat yang mengagungkan kebebasan dan mengabaikan nilai-nilai kesusilaan. Padahal dilihat dari sudut pandang kebaikan manapun, penyelenggaraan ratu sejagad ini tidak tepat, selain melanggar konstitusi negara karena tidak sesuai nilai-nilai luhur budaya Indonesia yang mentabukan wanita memamerkan badannya di tempat umum, juga melecehkan ajaran agama mayoritas di Indonesia karena menjadikan aurat wanita sebagai ajang penilaian. Akhirnya, supaya lebih menjual, maka dimasukkan kriteria “brain dan behavior”, tapi pernahkan miss world punya pemenang yang pintar tapi tidak cantik atau seksi?

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef menulis dalam bukunya, “Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran” (2006), ia menulis: “Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai sekarang adalah suatu penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan dari kegiatan ini tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu; perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan, dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus kelemahan perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan akan uang untuk bisa hidup mewah”.

Maka jelas, ajang ini menjadikan tubuh wanita beserta kecantikannya sebagai komoditas bisnis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sementara pendapat bahwa acara ini akan meningkatan daya tarik wisata Indonesia dan lain-lain tak lain hanyalah alibi untuk menutupi motif tersebut. Kontes kecantikan ini juga membuat masyarakat terjebak dalam mitos kecantikan yang menyesatkan. Kecantikan wanita dinilai dengan penampilan fisik. Meskipun ada standar nilai-nilai lain yang menjadi penilaian, tetap saja yang utama adalah kecantikan fisik. Mitos kecantikan ini berdampak sangat besar bagi mental dan gaya hidup perempuan. Banyak yang akhirnya tidak merasa puas dengan fisik yang dimiliknya. Para wanita akhirnya rela merogoh saku dalam-dalam sampai melakukan operasi plastik untuk bisa cantik seperti yang dipertontonkan kontes kecantikan. Mereka menjadi lupa dengan kodratnya, disibukkan dengan memperhatikan fisik. Sementara nilai-nilai spiritual, moral menjadi terabaikan. Belum lagi dampak bagi para pria, yang dengan bebas melihat para wanita yang mempertontonkan auratnya. Moral mereka akan rusak.

Kontes ini tidak hanya merusak moral individu, namun juga tatanan sosial dan rumah tangga. Hal ini terjadi pada pemenang kontes kecantikan Putri Indonesia 2009. Demi memenangkan kontes kecantikan tersebut, ia mengaku sengaja melepaskan kerudung yang sebenarnya wajib dikenakannya sebagai Muslimah sekaligus wakil Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Ia mulai lupa kehidupan normalnya sebagai seorang anak. Tenggelam dalam kesibukannya sebagai seorang Putri Indonesia. Hal tersebut bisa jadi terjadi pada kontestan yang lain. Di mana kesibukan sebagai putri Indoenesia atau semacamnya telah mengikis nilai-nilai silaturahmi keluarga serta nilai-nilai agama.

Adanya berbagai kontes wanita ini sesungguhnya tidak lepas dari pengaruh peradaban barat yang menjadikan wanita sebagai komoditas bisnis dan memandang wanita sebagai sarana pemuas nafsu seksual belaka. perempuan dipandang dengan pandangan terbuka. Hingga terbuka segala-galanya, pakaiannya, dan auratnya dilihat sebagai simbol keindahan. Padahal seharusnya wanita dihargai bukan dari penampilan fisiknya, melainkan dari keshalihan dan ketakwaannya. Hal ini menjadikan para wanita berfokus kepada amal-amal kebaikan yang membawanya kepada derajat takwa, dan akan terjaga dari hal-hal yang dilarang sehingga para laki-laki pun akan mengormati dan memuliakan perempuan. Mari kita selamatkan generasi kita dari lingkungan yang membuat rusaknya tatanan moral dan kesusialaan sebagai manusia yang tinggi derajatnya.

MEMBESARKAN PERAN INDONESIA DI MATA DUNIA

10 September 2013 pukul 2:33 pm | Ditulis dalam Tidak Dikategorikan | Tinggalkan komentar

Rasanya tak ada kata habis untuk menuliskan derita rakyat Mesir saat ini. Bahkan Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan merasa perlu meneriakkan sebuah sindiran keras tentang derajat kemanusiaan ketika kita membaca pembantaian di Mesir. “Anda tak perlu menjadi rakyat Mesir untuk bersimpati. Anda hanya perlu menjadi manusia”, begitu yang ia sampaikan. Pun tak lupa kita baca sebuah lirik lagu qasidah yang popular di era 90-an: “Banyak yang cinta damai, namun perang makin ramai.” Sebait lirik lagu qasidah ini nampaknya harus menjadi trendsetter masyarakat dunia saat ini. Karena begitu banyak orang yang meneriakkan keadilan dan kedamaian, namun ironisnya pembantaian justru semakin marak dilakukan. Dan mirisnya, semua dilakukan atas nama keadilan dan kesetaraan hukum. Dimanakah hati nurani mereka ketika mereka menembakkan senjata laras panjangnya ke ulu hati seorang perempuan atau bocah yang tak berdaya? Apakah itu yang disebut kesetaraan hukum?

Selemah-lemahnya semut, ia akan menggigit jua. Begitulah kiranya warga dunia yang menyaksikan kebiadaban di bumi Mesir. Karena kita manusia, maka kita cinta. Karena kita cinta, maka kita peduli. Maka kemudian hadirlah cinta yang tumbuh dan berkembang, layaknya menanam sebuah pohom yang tumbuh subur jika ia di pupuk. Cinta itu akhirnya berkembang di berbagai kalangan karena kekerasan yang dilakukan Militer Mesir sehingga membuat sebagian warga dunia bersimpatik. Indonesia yang dengan berbagai dukungan masyarakat kita, turut andil pula dalam menurunkan Tim Relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) ke Mesir. Namun, laporan ACT menyatakan: “Bayangkan, Rumah sakit dilarang memberikan pertolongan dan pengobatan untuk para korban yang anti kudeta militer. Selama 20 tahun pengalaman ACT menangani bencana dan konflik, baru kali ini ACT mendapati golongan (Militer Mesir) yang melarang medis untuk menangani korban. Sangat biadab dan secara nyata melanggar konvensi Genewa.”

Di saat inilah, seluruh manusia dituntut untuk melesat bangkit dengan potensi akal pikirannya untuk belajar, mengetahui, serta melakukan berbagai aksi nyata demi menjaga bumi yang Tuhan Wariskan kepada kita, dan agar kita mendapatkan manfaat atas keadilan yang sebaik-baiknya. Bahwa sebuah masyarakat manusia tidak akan menjadi baik kecuali jika ada keyakinan hati yang bangkit dari dalam jiwa hingga merasa selalu diawasi oleh Tuhan yang Maha Mengetahui perbuatan kita. Dengan menghormati setiap jiwa yang terlahir dan menjaganya hingga maut menjemputnya kembali. Membantu sesama dan berempati kepada setiap jiwa yang menderita. Minimal saat ini yang bisa kita lakukan adalah dengan berdoa. Bahkan jika bisa, kita bantu dengan sedekah sebisa kita untuk Rakyat Mesir. Ingatlah kita dengan SabdaNya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) orang-orang yang menafkahkan hartanya di Jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah: 261)

Meski demikian, kenyataannya kita tak cukup beraksi nyata tanpa adanya legalitas dari Negara. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden melalui Menteri Luar Negeri untuk memberikan pernyataan sikap dengan tegas menolak atas pembantaian warga Mesir. Apalagi, Indonesia terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada pemilihan yang dilakukan Majelis Umum PBB melalui pemungutan suara dengan perolehan 158 suara dari total 192 negara anggota yang memiliki hak pilih. Maka, semakin banyak peran yang ingin kita mainkan, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus kita tegakkan. Banyak peran dengan sedikit kewajiban tertunaikan adalah kebangkrutan, dan banyak kewajiban tanpa peran adalah kemandulan. Dan kita hanya ingin memiliki masyarakat yang berperan aktif, produktif, dan dinamis. Dan untuk semua itu, kewajiban di semua tingkatan harus terpenuhi. Kita haruslah konstruktif dan bukan destruktif. Selagi kita mempersiapkan diri untuk berkontribusi terhadap amal-amal kemanusiaan di segenap lapangan, maka kita harus selalu bersikap konstruktif, dan pada saat itu juga kita harus berpikir bagaimana menciptakan dan merealisasikan layanan terhadap kemanusiaan, meninggalkan permusuhan dan kebencian. Karena sesungguhnya melakukan upaya-upaya pembangunan jauh lebih baik dan berharga daripada tindakan penghancuran. Sehingga dengan upaya-upaya itu, semoga Indonesia semakin terlihat perannya di mata bagi keadilan dan kedamaian bersama.

MENGAPA KITA DIAM

23 Agustus 2013 pukul 4:13 am | Ditulis dalam Tidak Dikategorikan | Tinggalkan komentar

Konflik di Mesir awalnya adalah konflik politik yang berkembang menjadi konflik kemanusiaan saat ini. Sebagai sebuah negara demokratis, Mesir layaknya menyelesaikan konflik politik melalui pemilu dan mekanisme politik lain. Awalnya Mesir memiliki penguasa yang lemah, kemudian Mursi terpilih dalam pemilihan umum dengan cara demokratis. Setelah kemenangannya, ia tidak mau menggunakan cara diktator. Ia hanya menggunakan bahasa sindiran diplomatis kepada oknum yang tidak mau jujur. Sejarah perjalanan revolusi Mesir telah mencatat bahwa Mursi pernah ‘mengkudeta’ militer dengan menurunkan Thanthawi kemudian mengangkat Sisiy menjadi Menteri Pertahanan, yang kemudian malah melakukan pengkhianatan dengan memimpin skenario kudeta atas Mursi, kemudian yang terjadi akhirnya seperti saat ini adalah justeru pembantaian kepada kelompok masyarakat yang tidak bersenjata.

Presiden Mursi yang menang mutlak 70% atas rezim militer pada pemilihan umum dengan proses demokrasi yang benar merupakan gambaran bahwa demokrasi telah ditegakkan. Maka tidak ada kesalahan dari Presiden Mursi ataupun dari pihak para pendemonstran. Apalagi mereka bukanlah kelompok bersenjata. Mereka hanya kelompok perindu keadilan dan kedamaian bersama. Namun, konflik berkepanjangan ini, sampai saat ini telah menelan lebih dari enam ribu jiwa dan lebih dari sepuluh ribu jiwa lainnya terluka. Militer Mesir secara sengaja menembak kelompok masyarakat yang melakukan demonstrasi damai di kepala, dada atau perut menggunakan peluru tajam. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, menjadi korban dalam tindakan brutal ini. Kekerasan ini harus segera dihentikan!

Namun sayangnya, entah karena informasi yang minim, atau karena Rakyat kita yang pragmatis, kita lupa dan menutup mata atas apa yang orang lain rasakan dengan berdalih “asalkan saya aman”. Padahal, dalam filososfi manusia, kita sebagai manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Terkadang kita harus mengembangkan dan memikirkan bagaimana potensi dan kepentingan kita dapat terpenuhi. Namun kemudian sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa dan tidak boleh memikirkan sendiri. Jika hati kita belum juga terketuk atas pembantaian ini, rasakan seandainya kita warga Mesir yang merupakan tanah kelahiran, tanah tumpah darah, di sana kita dibesarkan. Memang benar bahwa kita bukan warga Mesir, namun setidaknya kita rasakan bahwa yang dibantai adalah Umat Islam. Bukankah lebih dari 80% warga Indonesia adalah Muslim? Seharusnya ketika kita sama-sama Muslim, kita akan merasakan apa yang mereka rasakan. Ibarat satu tubuh, satu bagian sakit, maka bagian yang lain akan merasakannya. Jika kita bukan Muslim, maka tidakkah kita masih punya hati nurani untuk melihat bahwa yang dibantai adalah manusia? Bukankah kita adalah manusia? Atas nama kemanusiaan, tidakkah kita merasakan apa yang mereka rasakan? Bagi kita, mereka tidak berharga, tapi bagi keluarga mereka, barangkali mereka yang terbunuh itu adalah tulang punggung keluarga yang harus menafkahi keluarganya, yang harus melindungi ibu, istri, anak-anak mereka, yang harus membangun bangsa mereka agar menjadi masyarakat madani, yang ingin menciptakan pula kedamaian abadi dan kesejahteraan bersama. Mengapa kita terlupa dengan nurani yang merupakan dari RahmatNya ini? Mungkinkah kita telah terlupa juga dari adzabNya karena kita telah melupakan titahNya untuk saling menyayangi?

Mengingat UUD 1945, seluruh bangsa Indonesia memiliki mandat konstitusional untuk menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Mengingat bahwa Indonesia sebagai negara yang berdasarkan pada Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, harus terus menjunjung perlindungan terhadap kemanusiaan. Dan atas nama Hak Asasi Manusia serta persaudaraan tak mengenal batas teritorial. Mesir adalah sahabat Indonesia yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia dan menyediakan dukungan penuh pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan; Maka dengan ini kita sebagai warga negara Indonesia harus bersikap tegas mengutuk tragedi kemanusian yang terjadi di Mesir, meminta Militer Mesir untuk segera menghentikan aksi kekerasan terhadap warga sipil di Mesir dan menghormati institusi pemerintahan, proses demokrasi dan tata masyarakat sipil di Mesir, termasuk dengan segera membebaskan Presiden Mursi dan semua tahanan politik lainnya. Semoga Tuhan menurunkan RahmatNya kepada Indonesia karena kita membantu menjaga bumi ini dari pertumpahan darah.

MENANTANG ADZAB

23 Agustus 2013 pukul 4:11 am | Ditulis dalam Tidak Dikategorikan | Tinggalkan komentar

Sore hari menjelang waktu berbuka puasa, saya dikejutkan oleh SMS dari seorang teman: “Teh, saya dengar Teh Iha meninggal, apa benar berita itu?” Deg, kaget. Belum sempat saya membalas SMS tersebut, datang SMS berikutnya dari teman: “Innaalillahi wa innaa ilaihi raaji’uun, telah berpulang ke rahmatullah saudari kita Iha Musliha karena kecelakaan tadi siang di Ciruas. Mari kita doakan agar semua amal beliau diterima Allah SWT”. SMS terakhir semakin memperkuat berita itu. Teringat masa-masa ketika bersama-sama mendaki gunung Pulosari akhir Juni lalu. Hari ini, tak ada lagi cerita bersama beliau.

            Begitulah kira-kira adanya maut. Ia datang tiba-tiba dan tak pernah ada yang mengetahui dan meramalkannya. Namun kita dapat memilih, mau mati dalam keadaan baik atau buruk?

Saya jadi teringat Ramadhan kedua ketika saya akan berangkat ke Bogor. Menunggu kedatangan bis jurusan Bogor bersama suami, di bangku-bangku pos polisi ada sebagian calo yang dengan tenangnya mereka merokok. Di wajah mereka tak tergambar sedikit pun rasa bersalah ketika mereka meniup kemudian menghembuskan asap rokok. Amat menikmatinya. Kalaupun mereka bukan Muslim, setidaknya mereka seharusnya bisa sedikit menghargai Muslim yang sedang berpuasa. Saya bersungut-sungut, andai mereka yang dalam keadaan tidak berpuasa itu mati saat ini, apa yang akan mereka peroleh? Hidup sudah susah, jangan ditambah susah dengan menjauhi Sang Pencipta, rutuk batin saya.

Al Quran berulangkali menyitir tantangan kaum yang membangkang kepada para Nabi dan Rasul yang diutus untuk memperingatkan mereka. Ketika ayat-ayat Allah dibacakan dan ancaman-Nya diumumkan, dengan penuh kesombongan mereka menantang agar segera didatangkan azab-Nya di dunia ini. Allah SWT Berfirman: “Dan mereka meminta kepadamu supaya segera diturunkan azab. Kalau tidaklah karena waktu yang telah ditetapkan, benar-benar telah datang azab kepada mereka, dan azab itu benar-benar akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya. Mereka meminta kepadamu supaya segera diturunkan azab. Dan sesungguhnya Jahannam benar-benar meliputi orang-orang yang kafir. Pada hari mereka ditutup oleh azab dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka, dan Allah berkata (kepada mereka): Rasakanlah (pembalasan dari) apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Al Ankabut: 53-55.

Kebanyakan manusia menyangka bahwa ditundanya azab menandakan ancaman tersebut hanya gertak sambal. Meremehkan dengan keadaan. Padahal Sesungguhnya, kebijaksanaan Allah hendak menguji umat manusia dan memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk memilih jalan hidup serta amal perbuatan. Allah tidak tergesa-gesa untuk menjatuhkan hukuman, agar penundaan itu bisa menjadi kesempatan bagi mereka untuk menjadi baik dan memperbaiki diri. Celakanya, kasih sayang dan kelembutan Allah justru dipersepsi sebagai main-main belaka. Tapi mereka lupa bahwa alam ini memiliki Tuhan yang memerintahnya, sedangkan alam tidak pernah membantah Tuhannya sedikit pun. Padahal, bukankah tidak ada meteor yang jatuh, angin yang menderu, gelombang samudera yang melanda, bahkan tidak selembar daun pun yang rontok kecuali atas izin-Nya?

Semua perilaku mereka yang menyedihkan itu bersumber dari kesombongan dan niat-niat jahat. Ia menyangka bahwa masih amannya mereka dari siksa dunia adalah menunjukkan tidak berlakunya ancaman Allah, atau dengan kata lain maksiat dan berbuat dosa pada Allah merupakan sesuatu yang sah-sah saja. Sebenarnya pelaku maksiat itu dan para pengikutnya hanya menunggu berlakunya sunnatullah. Dan, ketika hal itu terjadi, pastilah sangat tiba-tiba. Ketika itulah mereka akan terdiam berputus asa. Namun karena mereka ada di
tengah-tengah kita, maka kita tidak boleh tinggal diam. Cegah maksiat, tegakkan nahi munkar, jangan sampai kita semua diam dan dimasukkan Allah ikut menjadi bagian mereka, sebab, jika Allah murka dan tiba-tiba mengazab mereka, kita pun terkena imbasnya. Mumpung masih Ramadhan, mari bersihkan lingkungan kita dari perbuatan-perbuatan kotor tangan-tangan tak bertanggungjawab itu. Dengan nasihat. Dengan teladan yang baik. Dengan akhlak yang mulia.

Laman Berikutnya »

Blog di WordPress.com.
Entries dan komentar feeds.